Kamis, 26 November 2009

KEKUATAN DO'A

"Tidak seorang muslim pun di atas bumi yang berdoa kepada Allah melainkan pasti dikabulkan olehnya, atau disingkirkan bencana darinya sebesar doa itu " (H.R. Tirmidzi).

Dari hadist tersebut dapat diketahui bahwasannya kekuatan doa merupakan senjata bagi orang muslim. Terlebih lagi apabila orang yang berdoa kepada Allah tersebut adalah orang yang sangat disayangi oleh Allah SWT, tetapi disisi lain kita juga harus berhati-hati dalam memilih doa. Apalagi doa tersebut dipanjatkan di waktu-waktu yang di ijabah oleh Allah SWT, seperti kisah di bawah ini :

Berkah menjadi putri daerah A, membawaku bertemu dengan banyak teman baru - sesama dengan banyak teman baru - sesama pemenang kontes pemilihan putra - putri daerah - di grand final pemilihan Abang - None (Abnon) Jakarta. Salah satunya adalah putra daerah C yang belakangan kutahu bernama Gilang Prakoso (bukan nama sebenarnya). Sosok yang tidak terlalu tampan laiknya putra daerah namun supel dan mudah bergaul.

Yogya Penuh Cinta
Setahun kemudian diterima di Fakultas Ekonomi, Salah satu Universitas terkemuka di Yogya . Hal ini membuatku merantau ke kota Gudeg. Tak dinyana di kota ini, aku bertemu kembali dengan Mas Gilang yang sedang mengambil studi di salah satu perguruan tinggi di Yogya.
Kami pun jadi berteman baik. Mas Gilang tak sungkan menceritakan permasalahannya padaku sebaliknya aku juga amat suka mendiskusikan apapun pada Mas Gilang. Kadang di waktu senggangm kami suka jalan bersama menyusuri Yogya yang penuh nilai sejarah. Seperti bisa ketebak, witing trisno jalaran soko kulino, aku dan Mas Gilang akhirnya jatuh cinta.
Praktis selama masa kuliah di Yogya, kami lewati dengan saling menjalin kasih. Selama itu pula, aku dan Mas Gilang membangun harapan untuk membangun harapan untuk dapat bersama-sama membangun mahligai rumah tangga yang sakinah.
Sampai tujuh tahun perjalanan asmara kami, aku dan Mas Gilang memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Mas Gilang adalah sosok yang amat kubutuhkan untuk mendampingiku. Karakternya yang keras, cocok dengan karakterku yang memang suka diatur.
Mas Gilang memang tak sekaya Roby atau Adam yang kerap mendekatiku dengan BMW-nya atau kiloan gelang emasnya. Tapi ia memiliki potensi untuk menjadi kaya. Studinya di Tehnik, meyakinkanku bahwa suatu hari kelak Mas Gilang pun bisa seperti Roby atau Adam.

Mulai dari Nol Pada tahun 1998, aku dan Mas Gilang menikah. Di tahun yang dikenal Krismon itu, kami menjalankan bahtera rumah tangga dari nol. Bank tempatku bekerja di likuidasi sementara Mas Gilang kehilangan proyeknya. Maka dengan berat hati, tabungan Mas Gilang dan pesangonku sedikit demi sedikit terpaksa melorot demi mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Namun demikian, aku dan Mas Gilang tetap merasa bahagia dengan pernikahan ini. aku mencoba membaktikan diriku sebagai istri yang sakinah. Sepenuhnya kumainkan peranku sebagai ibu rumah tangga. Sebagai istri, tentu saja aku tak henti-hentinya mendoakan Mas Gilang agar menjadi orang terhormat dan dapat menghidupi keluarganya, karena itu aku tak bosan-bosan mengamalkan ayat kursi sebanyak 1000 kali dalam sehari. Syahdan, jika mengamalkannya, maka apapun yang kita minta akan dikabulkan oleh Allah.
Tak lama berselang, doaku dikabulkan oleh Allah. Mas Gilang diterima di sebuah bank. Mulai dari situ, rezeki tak habis-habisnya mengucur. Dalam kurun waktu di bawah setahun, kami sudah dapat hengkang dari kos-kosan menuju rumah kontrakan, bahkan sampai rumah sendiri tak terkecuali mobil pribadi.
Ironinya, di tengah limpahan rezeki yang begitu besarnya Mas Gilang lupa bersyukur. Mas Gilang kerap pulang larut malam, tanpa disertai alasan jelas. Aku sendiri tak ingin berprasangka buruk padanya. Aku berusaha untuk mempercainya, belakangan kutahu ia kerap bermain judi.
Bukan hanya itu. Mas Gilang acapkali menyudutkan posisiku sebagai istri. merasa istrinya berasal dari keluarga miskin dan kini tidak bekerja, Mas Gilang kerap meremahkanku bahkan keluargaku. Suatu ketika kala kami sedang berada di rumah, Mas Gilang bertutur, Apa kamu gak malu Ran, kamu kan nggak punya andil ?
Hatiku bagai disayat sembilu demi mendengar penuturannya yang begitu menusuk. Sambil terus berurai air mata aku berkata, "Mas kamu kan tahu, saya bukanlah berasal dari keluaga mampu. Saya memang tak punya andil apa-apa. Saya hanya bisa berdoa untukmu.."
Tak sampai disitu. Mas Gilang beberapa kali mencoba mengusirku. Suatu hari aku mendapatkan pakaian ku sudah berada di luar rumah. Aku sendiri tak mengerti mengapa Mas Gilang berlaku demikian. Seakan kisah asmara yang telah kami lewati tujuh tahun di Yogya tak membekas. "Inikah Mas Gilang yang sesungguhnya?" ujarku setiap kali mendapatkan karakternya di luar dugaan. Tapi aku terlalu mencintainya. Tak terlintas di benakku untuk bercerai.
Suatu ketika di mobil, Mas Gilang kembali mengulangi penuturan yang menyakitkan itu, "Apa kamu gak malu ran, kamu kan ga punya Andil?' Dengan hati pilu kujawab "saya hanya bisa berdoa untuk mu mas. Doa memang tidak tampak, tapi kalau memang kamu tak menganggapnya sebuah andil, baiklah mulai sekarang saya tak lagi berdoa untukmu Mas."
Kutumpahkan seluruh kesedihanku diatas sajadah. Aku tak tahu harus berbuat apa menyikapi pertanyaan seamiku. Aku pun berdoa, Ya Allah berilah saya rezeki dari tangan saya sendiri."
Sekali lagi Allah mengijabah doaku dengan cepat. Hanya sebulan dari aku berdoa atau tepatnya tahun kedua dari pernikahan kami, aku mendapatkan panggilan dari perusahaan asing X di kota B, bersamaan dengan Mas Gilang yang diangkat menjadi kepala cabang perusahaan minyak (anak perusahaan tempat Mas Gilang bekerja) di kota tersebut. Kami pun pindah ke kota B, Rumah dan mobil, kami jual untuk menambah biaya hidup di kota B.

Prahara Kian Menerpa
Hidup seperti roda, sulitnya mencari proyek, membuat perusahaan Mas Gilang tak dapat beroperasi. Kebalikan dengan karierku di perusahaan asing X justru semakin meningkat. Aku ditempatkan di bagian yang mengurusi tender sekaligus dipercaya menjadi tim marketing. Pimpinanku amat puas dengan target yang kuperoleh. Tak jarang berbagai bonus kerap kuperoleh.
Semenjak aku bekerja di perusahaan X, aku selalu memberikan kontribusi bagi perekonomian keluarga. sebaliknya Mas Gilang, tak sepeserpun uang yang mampu diberikannya. Praktis selama di Kota B, aku menopang seluruh kebutuhan rumah tangga.
Satu per satu barang yang dibeli dengan uang Mas Gilang, lenyap dari rumah. Mas Gilang menjualnya demi kebutuhan "dugem" (dunia gemerlap) yang biasa disambanginya. Aku hanya terpana dengan pemandangan tersebut. Harta yang diperoleh dalam waktu singkat lenyap pula dalam waktu sekejap. seluruhnya berganti dengan barang-barang yang kubeli, hasil jerih payahku.
Ketimpangan pendapatan pada akhirnya membuat hubungan aku dan Mas Gilang disharmonis. Mas Gilang acap kali memasalahkan hal-hal yang sebenarnya tak bermasalah. Ia menjadi sosok yang amat sensitif. Jika aku tak menuruti perkataannya (yang menurutku bertentangan dengan prinsipku). Mas Gilang langsung menganggapku sebagai istri durhaka. Alhasil pertengkaran hebat pun tak dapat dihindari.

Mak Comblang Belang
Suatu hari salah seorang clientku - Bapak Widjaya yang kaya mendadak karena penjualan tanahnya mendatangiku. Ia memintaku mencarikan jodoh untuk putrinya. Anya- yang sudah berumur namun belum menikah.
Lantas, kuceritakan maksud Bapak Widjaya menjodohkan putrinya. Suamiku berniat menghubungi Anto - sobatnya yang masih lajang. Aku tak mengetahui perkembangan selanjutnya. Yang kutahu, Mas Gilang minta izin ingin ke Jakarta untuk menemui Anya.
Sementara itu, Bapak Widjaya sangat senang dengan upaya suamiku mencarikan jodoh untuk Anya. Ia menghadiahi sebuah pekerjaan bagi suamiku. Aku amat senang dengan hadiah yg dijanjikan, dengan begitu, suamiku tidak lagi menjadi pengangguran. Namun entah kenapa, Bapak Widjaya menarik sepihak pekerjaan yang ditawarinya. Belakangan kutahu, Mas Gilang mencari Anya, kekayaan membuat Mas Gilang mengejar Anya. Hatiku terpukul dengan kenyataan tersebut. Kenapa Mas Gilang sampai hati melakukannya.

Karena Harta
Setiap hari, hampir selalu ada ulah Mas Gilang yang memicu pertengkaran kami. Seakan-akan ia sengaja merekayasa agar aku melepasnya ke pelukan Anya. Sampai suatu ketika di Jakarta, ia memutuskan untuk menceraikanku via telepon. "Ran, kita bercerai saja," ujar Mas Gilang ketus.
Menghadapi keadaan yang demikian, aku berusaha untuk mengingatkannya agar tidak tergesa-gesa memutuskan sesuatu. Kalaupun ia ingin menceraikanku, sebaiknya tidak lewat telepon melainkan langsung berhadapan dengan ku.
Tanpa bersalah, Mas Gilang jalan saja dengan keputusannya yang sepihak. Setahun lamanya aku diabaikan begitu saja di kota B bersama anak angkatku yang juga keponakanku. Aku berjuang keras memenuhi kebutuhan hidup kami.
Suatu hari aku terserang Demam Berdarah Dengue. Dalam kondisi itu, aku merasakan beban hidup yang begitu beratnya. Berbagai alasan kukemukakan saat teman-teman menanyakan dimana suamiku. Aku malu sekali dengan kenyataan itu. Sampai dalam sebuah kesempatan, bosku mengabari Mas Gilang bahwa aku sakit keras.
Mas Gilang datang menjengukku di Kota B. entah apa yang membuatnya sadar, tiba-tiba ia ingin kembali padaku. Bertepatan dengan adanya ayahku yang setia menemaniku kala aku sakit, kami pun dinikahkan kembali.
Aku berupaya mengembalikan keharmonisan rumah tangga kami. salah satunya dengan program membuat anak- yang selama ini selalu mengalami kegagalan. Sudah lima kali aku mengalami keguguran. Namun demikian, menurut doktor, kandunganku subur. Hanya saja, Allah belum mengizinkanku hamil.
Beberapa kali Mas Gilang mengkamuflasekan alasannya jatuh cinta dengan Anya karena ingin punya anak. Dari situ aku pun berusaha mengajak Mas Gilang untuk berupaya lebih keras lewat doa dan obat. Namun sepertinya upaya itu tak terlalu ditanggapinya. Mas Gilang tak ingin menyentuhku. Sempat kutanyakan kenapa ia bersikap demikian. Dengan sinis dijawabnya, "Kalau aku punya anak darimu, bagaimana aku bisa membiayainya ? Kapan aku bisa punya BMW? Berbeda kalau aku punya anak dari Anya," hatiku menjerit sesaat mendengar jawabannya.
Dugaanku bahwa pernikahanku kembali normal ternyata salah. Mas Gilang dan Anya terus saling berhubungan. Ketergantungan Mas Gilang pada Anya yang telah mensupportnya secara finansial, membuat Mas Gilang merasa berhutang budi pada Anya. Oh tuhan, terpikirlah olehnya, selama 4 tahun aku bekerja membiayai kehidupan rumah tangga kami bahkan kulunasi semua hutangnya? Bagi mas Gilang harta adalah segalanya, sebaik apapun istrinya kalau tak punya harta dan jabatan, ia takkan menghargainya. Tak heran jika Mas Gilang tak menghargaiku, apa lagi keluargaku yang bukan dari kalangan mampu.

Kandas?
Karena tak ingin dibebani kewajiban memberi nafkah setelah bercerai, Mas Gilang memintaku untuk menggugatku cerai, toh bukan aku yang ingin bercerai. kukatakan padanya kalau memang ia ingin bercerainya padaku, yah gunakan hak talaknya itu.
Sementara itu, orang tua Anya akhirnya merestui hubungan Anya dan Mas Gilang. Meski di awal sang ibu sempat mendampratku atas ulah suamiku. Begitu pula Bapak Widjaya yang pada mulanya menolak Mas Gilang. Mereka memintaku agar menyerahkan Mas Gilang pada Anya.
Sejujurnya aku masih mencintainya dan tak ingin melihat kehancurannya. Kalaupun akhirnya aku bercerai, aku ingin kami masing-masing menemukan kehidupan yang baik. Perasaanku mengatakan dengan niatnya yang sudah tak baik, sepertinya sulit baginya memperoleh kebahagiaan bersama Anya.
Namun karena sudah terlalu banyak intimidasi - baik dari pihak Mas Gilang maupun Anya sampai pada ancaman menggunakan institusi kepolisian - akhirnya aku menyerah. Gugatan cerai terhadap Mas Gilang kuajukan.
Derai tawa Anya dan Mas Gilang mengiringi persidangan hari itu. Seluruh kakak Mas Gilang tak menyetujui perceraikanku dengan adiknya. Mereka berharap aku tetap mempertahankannya. Mereka tak ingin melihat adik mereka hancur bersama Anya. Harapan mereka ternyata begitu besar hingga akhirnya memengaruhi keputusanku untuk menarik gugatan ceraiku atas Mas Gilang.
Aku sendiri tak mengerti kenapa aku melakukan hal itu? Jelas-jelas, pernikahanku dengan Mas Gilang amat menyakitkanku. Apa aku terlalu mencintainya ?
akhir dari cerita ini.....disaat-saat penantian yang tidak pasti dari suamiku pasca penarikan gugatan ceraiku ..........akupun tak henti-hentinya berdoa kepada Allah SWT "mohon diberikan petunjuk melalui shalat istikharoh dan Alhamdulilah di suatu malam Allah memberiku petunjuk melalui mimpi dimana aku harus meninggalkan suamiku, "Terimakasih Ya Allah Engkau telah memberikan jalan yang terbaik bagiku".



Untuk teman-teman berhati-hatilah jika berdoa ...... terutama di waktu-waktu yang diijabah oleh Allah SWT

0 komentar:

Posting Komentar